Kamis, 08 Maret 2012

62 RW di Tambora Berstatus Rawan Kebakaran


JAKARTA - Kawasan Tambora, Jakarta Barat, kembali terbakar. Untungnya, si jago merah kali ini hanya melahap satu rumah di kawasan padat penduduk itu. Sebab, petugas telah mengerahkan 20 unit mobil pemadam untuk menjinakkan api yang diduga berasal dari korsleting listrik.

"Sudah padam pukul 20.00 WIB. Tidak ada korban. Hanya satu rumah yang terbakar," kata petugas pemadam kebakaran Jakarta Barat Firman kemarin.

Wilayah Kecamatan Tambora memang memiliki kasus kebakaran dengan frekwensi terbanyak se-DKI Jakarta. Warga setempat menyebutnya sebagai peristiwa "arisan". Kini masih ada 62 RW dari 96 RW di Tambora yang berstatus rawan kebakaran.

Sebagai gambaran, kasus kebakaran hebat di Kelurahan Angke pada 25 Mei lalu, yang menghanguskan ratusan rumah. Dua hari berikutnya, toko material juga rata dengan tanah dilalap si jago merah. Tiga hari selanjutnya, 39 rumah di Kelurahan Duri Utara juga diratakan oleh api. Ketiga lokasi kebakaran itu hanya berseberangan rel kereta api (KA).

Camat Tambora Isnawa Adji menyebutkan, wilayah yang dipetakan rawan terbakar itu tersebar di 11 wilayah kelurahan di Tambora. Yaitu Kelurahan Kalianyar, Tambora, Duri Utara, Duri Selatan, Jembatan Besi, Jembatan Lima, Pekojan, Krendang, Angke, Tanah Sareal, serta Roa Malaka. "Wilayah rawan terbakar itu bukan berarti wilayah yang pernah terbakar. Tetapi sebuah kondisi yang sama dengan wilayah yang sudah terbakar," ungkap Isnawa.

Kondisi tersebut, menurut Isnawa, meliputi (unsur) antara lain kerapatan hunian, kumuh, serta bangunan rumah dari kayu. Faktor rawan kebakaran, di antaranya penduduknya overload, lahannya terbatas, akses jalan sempit.

Namun faktor utama penyebab kebakaran, diakui adalah korsleting listrik akibat instalasi yang tidak standar. Masih banyak bangunan tahun 70-an, dengan instalasi listrik yang tidak pernah diganti. Kabel-kabel yang lapuk dan usang, dibiarkan menerima tegangan listrik yang dua kali lebih besar. Sebab, instalasi listrik itu sebenarnya untuk kapasitas daya 110 volt, namun masih dipakai menanggung daya 220 volt.

Belum lagi instalasi listrik yang semrawut dengan koneksi sembarangan. Isnawa menggambarkan, sebuah stop kontak dengan kabel kecil digunakan untuk menghidupkan teko pemanas air, memutar DVD, televisi, kipas angin, sampai menyeterika. Sementara kebanyakan stop kontak warga tidak ber-SNI yang isolatornya mudah meleleh karena panas.

Belum lagi banyak dugaan kasus pencurian listrik. Itu terindikasi dengan banyak tempat usaha konveksi dengan banyak peralatan mesin listrik berdaya besar. "Namun anehnya, pemilik rumah hanya pelanggan listrik berdaya rendah. Berarti itu kan ada apa-apanya (mencuri)," ungkap alumni STPDN angkatan ketiga itu.

Dalam kondisi tertentu, panas itu menjadi percikan api yang bisa menyulut kebakaran. "Dari berbagai kasus kebakaran di Tambora sebanyak 90 persen diduga penyebabnya oleh korsleting listrik. Hanya 10 persen yang disebabkan non-listrik," terangnya.

Sementara itu, pembenahan hidran air di Jakarta juga masih berjalan lamban. Padahal, kondisi hidran yang ada sudah sangat memprihatinkan dan tak memadai lagi. Dari 1.424 unit hidran yang dimiliki, tercatat yang berfungsi hanya 759 unit. Sisanya sebanyak 665 unit rusak.

Akibatnya, petugas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (Damkar PB) kerap mengalami kendala saat hendak melakukan pemadaman. "Kondisi hidran air di Jakarta mendesak dilakukan (perbaikan). Sebab, sudah tidak memungkinkan lagi mengandalkan hidran yang ada," kata Ida Mahmuda, Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, kepada Indopos, kemarin (21/6).

Kepala Dinas Damkar PB DKI Jakarta, Paimin Napitupulu, mengakui hidran air di ibu kota banyak rusak. Selain itu, pasokan air dari perusahaan air minum (PAM) menurutnya juga tidak mencukupi. Akibatnya, petugas di lapangan selalu terkendala ketika hendak melakukan pemadaman kebakaran. "Untuk itu, perbaikan hidran yang terus kami upayakan, harus juga didukung dengan penambahan pasokkan air," terangnya. (dni/wok/ito/jpnn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar